Thursday, February 21, 2013

Materi Seni budaya

A. PERKEMBANGAN TEATER TRADISIONAL
Teater tradisional adalah teater yang berkembang dikalangan rakyat, yaitu suatu bentuk seni yang berakar dan bersumber dari tradisi masyarakat lingkungannya. Teater ini dihasilkan oleh kreatifitas suatu suku bangsa dibeberapa wilayah di Indonesia sehingga teater radisonal lebih bersifat kedaerahan. Teater tradisional bertolak dari sastra lama, atau sastra lisan daerah yang berupa dongeng, hikayat, atau cerita-cerita daerah lainnya.


1. Sejarah Teater Tradisonal di Indonesia
Teater tradisional di Indonesia berawal dari kegiatan upacara tradisional dan upacara keagamaan. Pada saat pemujaan dimulai, masyarakat memerlukan kegiatan yang bersifat dukungan lahiriah pada upacara yang bersifat rohaniah. Upacara ini biasanya diadakan pada saat melahirkan, perkawinan, atau waktu kematian. Selain itu, upacara diadakan untuk kegiatan bercocok tanam, meminta kesuburan, meminta hujan, pengusiran hama dan penyakit, dan upacara panen padi.

Semua kegiatan tersebut biasanya didukung kegiatan berupa peristiwa teater, kejadian teater, dan perilaku teater dengan jaan mengadakan tari-tarian atau tetabuhan (musik). Oleh karena itu, teater tradisional di Indonesia tidak bisa lepas dari unsur tari dan musik. Gerak yang dilakukan di dalam peristiwa teater tersebut merupakan tari-tarian yang dipergunakan untuk keperluan upacara. Teater untuk keperluan upacara biasanya tidak ditemukan unsur cerita, alur cerita, atau unsur-unsur sastra lainnya, tidak ada penonton dan pelakunya adalah peserta upacara itu sendiri (Achmad, 1990 : 51-52).

Dalam perkembangan lebih lanjut, masyarakat memerlukan teater yang dapat dijadikan sebagai sarana hiburan. Maka lahirlah teater yang khusus diperlukan untuk keperluan hiburan masyarakat. Teater ini bukan untuk keperluan upacara sehingga gerakan-gerakan tari dan musik sudah diubah, disesuaikan dengan keperluan hiburan. Penataan busana, dekorasi dan unsur-unsur sastra lain serta alur cerita sudah ada dan dipersiapkan dengan baik. Maka, dari sinilah di daerah-daerah di wilayah Indonesia muncul teater-teater daerah yang disebut teater tradisional.

Menurut Kasim Ahmad dalam Waluyo (2001 :71-75), teater tradisional dibagi menjadi tiga macam, yaitu:

a. Teater Rakyat
Teater rakyat berkembang di tiap-tiap daerah. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki teater rakyat. Teater rakyat disebut juga teater daerah. Cerita teater rakyat biasanya diambil dari kehidupan masyarakat di daerah setempat. Pengelolaan teater rakyat sangat sederhana sehingga sekarang banyak grup teater rakyat yang bangkrut.
b. Teater Klasik
Jika dibandingkan dengan teater rakyat, pengelolaan teater klasik lebih baik dan lebih mapan karena segala sesuatunya sudah diatur. Cerita diambil bukan dari cerita rakyat dan pelakunya sudah terlatih. Panggungnya tidak lagi menyatu dengan penonton, contohnya adalah wayang orang.

c. Teater Transisi
Teater ini sebenarnya bersumber dari teater daerah, tetapi cara penyajiannya sudah dipengaruhi gaya barat. Dekorasi, tata rias, dan tata busananya dipengaruhi gaya barat. Contoh teater transisi adalah Komedi Istambul dan sandiwara Dardanela.

2. Ciri-Ciri Teater Tradisional
Teater tradisional tiap-tiap daerah memiliki keunikan yang berbeda-beda. Namun, secara umum teater tradisional memiliki ciri-ciri yang bersifat sama (kecuali teater transisi), yaitu :

a. Tidak ada naskah
Teater tradisional biasanya tidak menggunakan naskah. Para pelaku hanya diberi garis besar ceritanya (Wos). Mereka berbicara secara spontan mengikuti pembicaraan pelaku lain. Oleh karena itu, pelaku dituntut bisa berimprovisasi. Jika tidak bisa, jalannya pertunjukan akan tersendat-sendat.

b. Persiapan dilakukan secara sederhana
Pada umumnya teater tradisional tidak memiliki perencanaan yang formal dan tidak ada penjadwalan secara rinci. Persiapan, latihan, dan persiapan dilaksanakan secara sederhana. Misalnya, persiapan dilakukan tanpa menggunakan naskah, pelaku hanya diberi garis besar ceritanya. Sutradara tidak membuat perencanaan latihan secara formal, latihan hanya dilakukan pada saat akan pentas. Pada saat pelaksanaan, persiapan peralatan pun dilakukan secara sederhana. Dekorasi, tata rias, tata busana, tata lampu, dan tata musik dipersiapkan secara sederhana juga.

c. Ceritanya monoton
Cerita teater tradisional biasanya monoton, tidak beragam dan tidak bervariasi seperti bervariasinya kehidupan manusia. Biasanya cerita diambil dari cerita rakyat daerah setempat, seperti dongeng, hikayat, atau cerita kepahlawanan (epos) daerah setempat. Ini berbeda dengan teater modern yang ceritanya lebih bervariasi. Teater modern bercerita tentang segala aspek kehidupan manusia, seperti keagamaan, ekonomi, kemasyarakatan dan budaya.

d. Menyatu dengan masyarakat 
Teater tradisional bersifat fleksibel, artinya pertunjukan itu bisa dilaksanakan dimana saja, teater tradisional tidak memerlukan tempat khusus. Bahkan, bisa menyatu dengan masyarakat. Hal ini disebabkan karena teater tradisonal tidak memerlukan perlengkapan yang kompleks.


A. KONSEP TEATER TRADISIONAL
Konsep teater pada awalnya merupakan persiapaan yang berkenaan dengan tehnik penatalaksanaan pertunjukan yang dipentaskan. Teater lebih menyerupai sanggar, sehinggga pertunjukan tari, musik atau sirkus pun dikategorikan sebagai seni teater.

Pada perkembangannya, teater menjadi lebih kompleks. Seni teater adalah bentuk seni pertunjukan yang berhubungan dengan kisah kehidupan manusia, baik langsung atau tidak langsung berhadapan dengan penonton.

Seni teater di Indonesia dikelompokkan menjadi dua macam berdasarkan keberasalannya. Teater tradisional merupakan teater yang berasal dari kebudayaan Indonesia. Teater non tradisional merupakan teater yang bukan berasal dari kebudayaan Indonesia. Contoh beberapa teater tradisional Indonesia misalnya: wayang orang, ketoprak dan ludruk, lenong, lawak dan dagelan, dan wayang (kulit dan golek).


1. Wayang Orang
Wayang orang adalah bentuk kesenian tradisional yang multimedia karena seni lain dengan berbagai medianya juga menjadi bagian dari pertunjukan tersebut. Contohnya seni sastra (naskah/cerita), musik (gamelan/tembang), drama (akting dan dialog), tari (gerakan/tarian), serta rupa (property/busana/rias). Gamelan untuk pertunjukan ditabuh oleh nayaga dan tembang dinyanyikan oleh sinden. Lakon yang dibawakan sekitar kisah Mahabarata versi Jawa (Ringgit Purwa).


2. Ketoprak dan Ludruk
Ketoprak mirip dengan wayang orang. Bedanya adalah lakon yang dibawakan merupakan cerita rakyat dan kisah kepahlawanan. Unsur dagelan atau humor masih ada, namun gerakan / tariannya lebih sederhana dan waktu petunjukannya lebih singkat.

Ludruk berasal dari daerah Jawa Timur. Pertunjukan ini merupakan sejenis ketoprak yang semuanya pemainnya pria. Ludruk diawali dengan tarian yang ditarikan sambil bernyanyi dan disebut tari Ngremo.

3. Lenong
Sandiwara berdialek Betawi. Bersifat improvisatif, bergaya lucu dan lugu, dengan nyanyian dan tarian yang diiringi musik gambang kromong.

4. Lawak dan Dagelan
Lawak adalah drama yang lepas dari logika cerita, akting , dan adegan. Permainan lebih cenderung pada usaha membuat kelucuan. Dagelan adalah lawak versi Jawa.

5. Wayang Kulit dan Golek
Wayang kulit dan golek adalah duplikasi dari wayang orang yang dimainkan oleh seorang dalang menggunakan wayang dari bahan kulit atau kayu (wayang golek). Rupa dan perwujudan wayang buatan ini telah didistorsikan.
Wayang kulit bentuknya pipih atau dimensi, dan agak janggal jika dibandingkan dengan bentuk orang yang nyata. Badan wayang menghadap kita, membelakangi sejajar kelir / layar. Maksudnya agar bayangan lebih besar dan jelas. Kepala, tangan dan kaki dibuat menyamping sejajar kelir agar logis untuk adegan dialog dan tanding. Pakaian dan ornamennya dibuat dengan cara diukir dan dicat. Wayang ini ditancapkan pada batang pisang di depan kelir.

Wayang golek berbentuk 3 dimensi, terbuat dari kayu yang diukir dan dihias, dengan ditambahkan kain batik pada bagian bawah tubuh wayang. Penampilannya tidak menggunakan kelir. Kedua jenis wayang ini mempunyai tangan yang dapat bergerak-gerak.
Dalam memerankan seluruh karakter dan suara dari tokoh pewayangan yang biasanya digelar dalam bahasa Jawa (wayang kulit) atau Sunda (wayang golek). Waktu pertunjukannya semalam suntuk dengan diselingi goro-goro, yaitu lawakan dari tokoh punakawan (Semar, Petruk, Gareng, Bagong untuk wayang kulit atau cepot dan Dawala untuk wayang Golek).

C. TEATER DAERAH JAWA
Teater daerah Jawa mengalami banyak proses akulturasi dari teater Barat. Istiah pengetahuan ” akulturasi” mempunyai tingkatan-tingkatan prosesnya, yaitu cara asimilasi ialah cara apabila orang hendak membawa daerah-daerah Asia menjadi sama rupanya dengan daerah-daerah Eropah dalam tata kehidupan masyarakat, politik, dan kebudayaannya, ataupun menjadi cetakannya. Adaptasi maksudnya adalah cara orang hendak melaraskan kebudayaan barat sehingga unsur-unsur kebudayaan suatu negara Asia yang dianggap baik tetap terpelihara, sambil juga membawa unsur-unsur yang baik itu selaras dengan keadaan-keadaan baru sehingga mendapat kehidupan baru pula. Dari pendapat tersebut dapatlah dengan singkat dikatakan, bahwa asimilasi memandang dari sudut kebudayaan suatu negara Asia, mengutamakan kebudayaan sendiri.

1. Teater Ketoprak
Pada tahun-tahun 1925-1927 di daerah kota Yogyakarta bagian timur laut, Demangan, Balapan, Ngaglik, terdapat suatu jenis teater. Alat-alat musik pengiringnya terdiri atas lesung, gendhang, terbang, seruling. Aktingnya dengan menari joget disertai nyanyian tembang, serta dialog-dialog bahasa pergaulan Jawa sehari-hari. Lakon-lakonnya diambil dari cerita-cerita, dongeng-dongeng. Pentasnya di tempat terbuka atau dibawah
teratag. Teater rakyat ini lambat
laun dikenal dengan nama ketoprak.

Dalam peninjauan lebih lanjut terhadap faktor-faktor yang menentukan suatu pergelaran seni teater ide barat, yaitu faktor bahan cerita, aktor, pentas dan penonton, akan kelihatan nanti bahwa proses akulturasi itu dialami oleh teater ketoprak.

a. Faktor cerita
Mula-mula diambil cerita klasik, legenda, khayal, seperti ; cerita Panji, Joko Tarub, Piti Tumpo, kemudian meningkat kepada cerita-cerita Menak, Mesir, Kejawan, Cina (Sam Pek Ing Tai, Si Jin Kui dan sebagainya), akhirnya diketengahkan cerita sejarah, kepahlawanan, roman dan sebagainya.

b. Faktor Akting
Dengan menari, semula maju mundur, kemudian berubah menjadi joget daplang berirama 3 – 2 – 1, lenggang ukel bagi peran wanita, akhirnya tarian ditiadakan.

Dialognya bebas, improvisatoris, sederhana dan mudah diterima oleh penonton. Kemudian dikenal paramasastra, antawecana, dengan unsur-unsur filsafat Jawa.

Nyanyian tembang mula-mula Pucung, mijil tua. Setelah digunakan alat petik dan gesek Gandamastuti dan Megelangan. Dengan digunakan gamelan tembangnya berubah dan bertambah dengan arasmadya, wicaksara, Genjong-goling, Megomendung, Pisangbali, dan sebagainya yang pada umumnya bernada pelog bem, lepas dari irama karawitan yang kebanyakan tidak cocok atau tidak selaras dengan guru wilangan irama karawitan, tetapi dapat pula diselenggarakan menurut gaya khas irama ketoprak. Akhirnya mendapat pembinaan karawitan.

Peralatan musik pengiring mula-mula menggunakan lesung, gendang, terbang, suling kemudian digunakan gitar, biola, genderang, dan akhirnya saron, gamelan.

c. Faktor Pentas
Ruang perlakonan adalah tempat terbuka, kemudian peringgitan, yaitu bagian dalam rumah konstruksi Jawa, Pendopo dan akhirnya di atas panggung proscenium.

d. Faktor Penonton
Mula-mula rakyat jelata, kemudian mendapat sponsor dari kalangan ningrat sehingga golongan ini sudah mulai tertarik akan teater ketoprak. Akhirnya masyarakat luas turut menikmatinya.

2. Ciri-Ciri Ketoprak
Dari data-data tersebut di atas kita bisa mengambil kesimpulan adanya ciri-ciri khas ketoprak sebagai berikut :
a. Ketoprak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam dialog.
b. Cerita tidak terikat pada salah satu pakem. Tetapi ada tiga kategori pembagian jenis yaitu:
1. Cerita-cerita tradisonal seperti ; timun emas, Ande-ande Lumut, Buto Ijo, atau Roro Mendut Pronocitro;
2. Cerita-cerita babad , baik cerita lama sebelum maupun setelah Belanda masuk ke Indonesia;
3. Cerita-cerita masa kini seperti gagak Sala, Ngulandara, dan sebagainya.
c. Musik pengiringnya adalah gamelan Jawa, baik pelog maupun slendro.
d. Seluruh cerita dibagi-bagi dalam babak besar dan kecil, perkembangannya sangat urut dari A sampai Z. Tidak mengenal flashback dalam film.
e. Dalam cerita ketoprak selalu ada peranan dagelan yang mengikuti tokoh-tokoh protagonis maupun antagonis.

Sudah tentu kelima ciri ketoprak tersebut tidak dipertahankan untuk selamanya karena teater ini hidup. Ketoprak berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi jamannya.

3. Kemajuan-Kemajuan Yang Sedang Dalam Proses
Kemajuan-kemajuan setiap bentuk seni senantiasa menimbulkan bahan pertentangan baru dalam ciri seni itu sendiri. Pada teater daerah kebanyakan berkisar pada isi yang maju dan bentuknya yang lama. Isi yang baru menuntut adanya bentuk yang baru pula. Ini berarti bahwa seni harus dapat pengembangan, melampui konvensi-konvensi lama, dan menciptaan konvensi-konvensi baru yang tepat untuk melukiskan ekspresi jiwa pencipta pada zamannnya. Tidak memecahkan pertetangan-pertentangan itu berarti menghambat kemajuan seni itu sendiri.

Teater ketoprak tidak luput pula mengalami proses pembaharuan. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam hal bentuk terutama mengenai :

a. Nyanyian Tembang
Sebagaimana biasanya, dialog diwujudkan dengan tembang dan bahasa berbicara. Tembang dibuat fungsional. Bukannya karena ketoprak maka seorang peranan itu menyanyi, tetapi ia menyanyi karena ia harus menyanyi. Misalnya karena sedih seseorang menyanyi, atau seorang jejaka membaca surat cinta dari kekasihnya, ia menyanyi, begitu seterusnya.

b. Bahasa
Bahasa sehari-hari yang biasa, yang sederhana, digunakan sebagai sarana untuk berkomunikasi dengan rakyat biasa, penontonnya. Riset terhadap calon penonton sangat perlu sehingga teater bisa mengenai pengarahan sasarannya. Kecuali itu, ketoprak juga mempunyai lagu-lagu bahasa sendiri. Lagu bahasa melodius, merupakan rangkaian permainan lagu bahasa yang bernada tinggi dan rendah. Ini enak didengar, dan juga bisa membantu untuk memberikan kesan-kesan tertentu atas para penontonnya.

c. Musik Pengiring
Segala perbendaharaan karawitan yang ada bisa dipergunakan. Tadinya gendhing hanya berfungsi mengantarkan perubahan adegan yang satu ke adegan yang lainnya. misalnya awal adegan pisowanan diiringi dengan gamelan. Jika tiba-tiba datang seorang utusan dari negara entah berantah maka ia diiringi dengan gamelan, begitu seterusnya.
Akan tetapi, gendhing dan gamelan memperoleh fungsinya yang lebih luas. Ia tidak hanya sekadar mengiringi perubahan suatu adegan saja tetapi juga mengiringi adegan itu sendiri.

d. Tarian
Pada ketoprak gaya lama terdapat tarian yang bentuknya sederhana, dengan tujuan sekadar mengantarkan orang yang sedang berjalan. Untuk ksatria diambil dari gerak tari kambeng, untuk tokoh-tokoh kasar dengan gerak tari bapang.

e. Dagelan
Kedudukan pelawak dalam ketoprak sangat bebas. Dengan cara pelampiasan lawakan di tengah-tengah lakon , adegan, seorang pelawak bisa saja menembakkan kritik ke arah berbagai sasaran yang terdapat di dalam masyarakat.

f. Monolog
Seorang peranan yang hendak menyatakan suatu perasaan yang kompleks tidak perlu melakukan berbagai gesture, business dan mimik tertentu , tetapi cukup dengan mewujudkannya pada suatu rangkaian monolog. Monolog dalam ketoprak ini dikenal dengan apa yang disebut ngudarasa.

g. Akrobatik
Teater ketoprak telah mempunyai konvensi dibidang akrobatik. Adegan-adegan perkelahian, pertempuran dilakukan dengan bersenjatakan ”toyak”, sepotong galah.

h. Akting
Ketoprak lama, hampir-hampir tidak memerlukan akting. Paling-paling bergaya patetis. Tetapi dengan munculnya tema-tema cerita masa kini, akting yang wajar tampak berkembang sesuai dengan standar akting teater barat.

D. TEATER DAERAH BALI
Kehidupan kesenian di daearah Bali sudah menjadi milik rakyatnya. Ekspresi kehidupan seni merata diantara rakyat, sudah mendapat tempat, menjadi darah dagingnya.
Agama Hindu Dharma merupakan sinkretisme dari agama Hindu Jawa dengan unsur-unsur kepercayaan Bali Kuno. Sedangkan agama Hindu Jawa itu sendiri adalah sinkretisme dari agama Budha.
Rakyat Bali beranggapan bahwa zaman dulu dunia ini penuh dengan bahaya yang bisa mengancam ketentraman hidup masyarakat. Anggapan ini merupakan kepercayaan yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat di Bali. Untuk mengelakkan bahaya tersebut diperlukan doa-doa, mantra-mantra keagamaan, sesaji, serta upacara-upacara ritual lainnya. Semua ini diadakan secara periodik pada momen-momen tertentu.
1. Unsur Religi dan Tari
Diantara upacara tersebut ada yang harus disertai dengan tarian-tarian. Bahkan ada jenis tarian yang khusus berkedudukan sebagai penolak bahaya yang mengancam atau penolak wabah penyakit, seperti tari Sanghyang.

Teater dalam bentuknya yang pertama secara serempak memuat unsur tari, musik dan lain-lainnya yang masih murni dan sederhana, demikian pula wujud teater daerah Bali.

Hapir semua tarian Bali bersifat religius karena sebenarnya tari-tarian yang bersifat sekular pun mempunya sangkut paut dengan kehidupan keagamaan. Jika ada seseorang dalam keadaan tidak saadar (intrance), mereka percaya bahwa ia kemasukan dewa, bidadari atau buta kala.

Jelaslah bahwa trance merupakan bagian yang penting dalam teater Bali karena dengan jalan itu mereka menghubungkan diri dengan dewa-dewa sehingga memperoleh ketentraman dan perlindungan. Drama tidaklah berkembang sebagai suatu konflik antar feeling, tetapi sebagai konflik dari suasana-suasana spiritual. Tema tidaklah datang dengan sendirinya, tetapi datang dari dewa-dewa, suatu kehadiran dari suatu unsur interkoneksi antara nature dan alam spiritual yang terpelihara.

Tata pakaian aktor yang membungkus tubuhnya membuat ia tidak lagi kelihatan sebagai bentuknya sendiri. Hiasan kepala yang fantastis, jubah-jubah yang gemetris, yang memindahkan pusat dari figur manusia, membuat sang aktor seperti hieroglif yang berjiwa. Disinilah teater pada dasarnya adalah representasi dari non-human spirit yang bukan milik mereka sendiri.

Teater Bali terdiri atas tari, nyanyi, musik, pantomime, dan sedikit unsur-unsur tetater Barat.

2. Unsur Teater Murni
Teater religius Bali membangkitkan suatu kesadaran tentang adanya bahasa teatrikal yang tidak berupa bahasa percakapan yang verbal. Bahasa itu merupakan seluruh kumpulan gesture ritual yang di dalamnya kita tidak memiliki kuncinya. Segala itu dilakasanakan dengan ekstrim berdasarkan indikasi musikal yang tepat, bahkan lebih daripada sekadar musik, ia cenderung ke arah pemikiran suatu sistem yang tak dapat dipecahkan.
Pada teater ini segala kreasi datang dari atas pentas dan menemukan ekspresi serta asalnya dalam impuls psikis yang tersembunyi, yang menyapa sebelum kata-kata. Dengan gesture-gesture ini ia mengangkat penonton ke alam metafisika. Apa yang disusunnya di dalam gerak adalah yang dimanifestasikan, merupakan perwujudan fisikal dimana spirit tidak pernah melepaskan dirinya.

Ruang permainan digunakan dalam semua dimensinya, dalam semua arah yang dimungkinkan. Di samping itu, ekspresi teater mempunyai sense mendalam dalam keindahan plastis karena gerakan-gerakan ini selalu mempunyai tujuan akhir yang berupa penerangan terhadap masalah spiritual. Pada teater Bali terasa adanya suatu suasana yang jauh lebih tua dari pada kata-kata. Mereka bisa memilih milik mereka yang berupa musik, gesture, gerak dan kata-kata.

E. APRESIASI TERHADAP UNSUR ESTETIS PERTUNJUKAN TEATER TRADISIONAL
Unsur estetis sebuah pertunjukan teater merupakan keindahan yang bermanfaat, yaitu keindahan moral, keindahan susila, keindahan akal dan keindahan alami. Untuk dapat menemukan unsur–unsur estetis pertunjukan teater tradisional di suatu daerah perlu mengadakan pengamatan terhadap pertunjukan-pertunjukan teater tradisional tersebut. Estetis suatu teater tradisional dapat dilihat atau ditemukan pada bentuk penyajiannya, irama musiknya, gerak fisiknya (misalnya ketentuan tubuh dalam acting), cara penyajiannya, dan setting atau latarnya. Masih ada hal-hal lain yang menjadi unsur estetis pertunjukan teater.

Apresiasi terhadap teater daerah yang bersifat tradisional dapat dimulai dengan menemukan keunikan teater setiap daerah dan latar atau setting teater daerah tersebut.

No comments:

Post a Comment